Thursday, 5 June 2008

Aku Menangis untuk Adikku sebanyak 6 Kali

Sebuah kisah yangku terima dari email seorang sahabat.. Jangan nangis tau..

"I cried for my brother six times"

Aku dilahirkan di sebuah dusun pergunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sehelai sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyedarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya."Siapa yang mencuri wang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan,"Baiklah, kalau begitu, kamu berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkam tangannya dan berkata,"Ayah, aku yang melakukannya!"

Tongkat panjang itu menghentam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marah sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi,"Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa akan datang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di Pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi." Aku masih selalu membenci diriku kerana tidak memiliki cukup keberanian untuk mengaku. Bertahun-tahun telah berlalu, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kelmarin. Aku tidak pernah lupa peristiwa ketika adikku melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di Sekolah, ia lulus untuk masuk ke Kolej. Pada masa yang sama, saya diterima masuk ke sebuah universiti. Malam itu, ayah duduk di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya merungut, "Kedua anak kita berjaya dengan baik dalam pelajaran..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita dapat membiayai keduanya sekaligus?" Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan pelajaran lagi, telah cukup banyak membaca buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul pipi adikku. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu lemah? Bahkan jika saya terpaksa mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sehingga selesai!"

Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam wang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku dapat ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universiti.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universiti tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimmu wang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran hingga suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan wang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun dan wang yang adikku perolehi dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi pembinaan aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universiti). Suatu hari, aku sedang belajar di bilikku, ketika teman sebilik masuk dan memberitahuku,

"Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar!"

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak cakap pada kawan sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka fikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan mentertawakanmu?"

Aku merasa terlalu sedih, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak peduli cakap siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."

Dari sakunya, ia mengeluarkan penyepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya fikir kakak juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa teman lelakiku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah teman lelakiku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit minyak pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di tempat pembinaan, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan... "Ditengah kalimah itu dia berhenti. Aku membalikkan tubuhku, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."

Suamiku menjadi pemilik kilang pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai pengurus pada bahagian pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Dia bersikap keras dan memulakan kerja sebagai pekerja teknikal bahagian elektrik.

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat senjatan litrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat lecuran putih pada kakinya, saya mengomel kecil, "Mengapa kamu menolak menjadi pengurus? Pengurus tidak akan melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan wajah yang serius, dia membela keputusannya. "Aku memikirkan abang ipar--dia baru saja menjadi pengarah , dan saya pula hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi pengurus seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga kerana aku!"

"Mengapa mengungkit kisah lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, dia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Semasa acara pernikahannya, pengerusi majlis acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa berfikir panjang adikku menjawab, "Kakakku."

Adikku mula menceritakan kembali sebuah kisah yang tidak ku ingati.

"Ketika saya pergi sekolah. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu kering dan beku kerana cuaca yang begitu sejuk hingga dia tidak dapat memegang apa pun. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Tiada kata-kata dapat kuucapkan keluar dari bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku."

Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan majlis keramaian itu, air mata mengalir bercucuran memenuhi wajahku.

Diterjemahkan dari : "I cried for my brother six times"

2 comments:

mashi said...

Ina,

awat le bagi citer yang sedih ni, nak sekat, tapi dia keluar jugak..

iina said...

alah mashi.. aku yang brutal nie pun baca nangis hehehe.. apalagi ko yang memang sensitif sejak dulu :)

Related Posts Widget for Blogs by LinkWithin